Menikmati Senja di Pantai Parangtritis Yogyakarta
Cerita berkunjung ke Pantai Parangtritis Yogyakarta ini menjadi awal blog post setelah lama sekali saya tidak ngeblog. Sebenarnya ini juga jalan-jalan yang baru saja dilakukan, tetapi sudah beberapa bulan yang lalu (20/04). Baru kali ini niatan untuk posting dengan cerita hasil berkunjung ke Parangtritis itu terwujud.
Sore itu setelah sholat ashar, dengan rencana dan persiapan yang mendadak, saya bersama istri yang sedang hamil 8 bulan memutuskan untuk berkunjung ke pantai Parangtritis. Dari lokasi kontrakan yang ada di Imogiri, Bantul, pantai yang ada di selatan kota Jogja ini tidaklah terlalu jauh. Sekitar satu jam dengan mengendarai motor berkecepatan sedang sudah sampai.
Dengan membayar tiket yang tak lebih dari sepuluh ribu rupiah kita memasuki kawasan pantai Parangtritis. Kebetulan hari itu hari Minggu, bisa dibayangkan sendiri ramainya salah satu tempat wisata terfavorit di Jogja itu. Sore, menjelang petang matahari tidak terlalu menyengat, bibir pantai di penuhi wisatawan.
Jalan kaki terlalu lama sudah bias dilakukan, dengan perut yang sudah semakin besar. Dulu waktu ke tempat-tempat wisata lain masih kuat. Seperti pernah kita ke air terjun Sri Gethuk di Gunung Kidul, atau Candi Prambanan. Karena adanya Andong yang berseliweran, kenapa kita tidak coba menaikinya. Sudah jauh-jauh ke Parangtritis sayang kalau tidak menyusuri pantainya dengan angkutan ini.
Tarif yang dikenakan lumayan mahal juga, untuk menyusuri pantai dengan tenaga kuda ini, dari ujung barat sampai timur dikenakan tariff Rp 100.000. Akhirnya kita tawar Rp 40.000 untuk jarak setengahnya, yaitu dari tengah sampai ujung timur yang ada air terjun di bawah hotel Quen. Kalau tidak salah namanya air terjun Parangtritis. Sedangkan jika memilih ke ujung barat ada Parangkusumo, tempat melakukan ritual.
Air terjun ini memang tidak terlalu ramai, karena untuk ke seni jika jalan kaki dari pintu masuk pantai lumayan jauh. Dari perbincangan dengan pak kusirnya, hotel Quen yang ada di atas air terjun ini telah dimiliki orang China, dulunya adalah milik orang Belanda.
Menjelang maghrib, setelah puas menikmati debur laut selatan, merasakan pasir pantai, berfoto dengan matahari senja kita pulang. Tentang pantai Parangtritis yang saya ingat, jika ditarik garis dari pantai, keraton, tugu, dan gunung merapi membentuk garis lurus. Ada yang pernah mendengar ini? Sebagai salah satu daerah yang menjunjung budaya jawa dengan segala kleniknya, ada banyak cerita tentang pantai selatan ini.
Sore itu setelah sholat ashar, dengan rencana dan persiapan yang mendadak, saya bersama istri yang sedang hamil 8 bulan memutuskan untuk berkunjung ke pantai Parangtritis. Dari lokasi kontrakan yang ada di Imogiri, Bantul, pantai yang ada di selatan kota Jogja ini tidaklah terlalu jauh. Sekitar satu jam dengan mengendarai motor berkecepatan sedang sudah sampai.
Dengan membayar tiket yang tak lebih dari sepuluh ribu rupiah kita memasuki kawasan pantai Parangtritis. Kebetulan hari itu hari Minggu, bisa dibayangkan sendiri ramainya salah satu tempat wisata terfavorit di Jogja itu. Sore, menjelang petang matahari tidak terlalu menyengat, bibir pantai di penuhi wisatawan.
Jalan kaki terlalu lama sudah bias dilakukan, dengan perut yang sudah semakin besar. Dulu waktu ke tempat-tempat wisata lain masih kuat. Seperti pernah kita ke air terjun Sri Gethuk di Gunung Kidul, atau Candi Prambanan. Karena adanya Andong yang berseliweran, kenapa kita tidak coba menaikinya. Sudah jauh-jauh ke Parangtritis sayang kalau tidak menyusuri pantainya dengan angkutan ini.
Tarif yang dikenakan lumayan mahal juga, untuk menyusuri pantai dengan tenaga kuda ini, dari ujung barat sampai timur dikenakan tariff Rp 100.000. Akhirnya kita tawar Rp 40.000 untuk jarak setengahnya, yaitu dari tengah sampai ujung timur yang ada air terjun di bawah hotel Quen. Kalau tidak salah namanya air terjun Parangtritis. Sedangkan jika memilih ke ujung barat ada Parangkusumo, tempat melakukan ritual.
Air terjun ini memang tidak terlalu ramai, karena untuk ke seni jika jalan kaki dari pintu masuk pantai lumayan jauh. Dari perbincangan dengan pak kusirnya, hotel Quen yang ada di atas air terjun ini telah dimiliki orang China, dulunya adalah milik orang Belanda.
Menjelang maghrib, setelah puas menikmati debur laut selatan, merasakan pasir pantai, berfoto dengan matahari senja kita pulang. Tentang pantai Parangtritis yang saya ingat, jika ditarik garis dari pantai, keraton, tugu, dan gunung merapi membentuk garis lurus. Ada yang pernah mendengar ini? Sebagai salah satu daerah yang menjunjung budaya jawa dengan segala kleniknya, ada banyak cerita tentang pantai selatan ini.